Merajut Nasionalisme dan Integrasi Nasional Melalui Digitalisasi Penyiaran

Jakarta -- Meskipun Revisi Undang-undang Penyiaran tahun 2002 batal diproses pada tahun ini dan akan dibahas ulang pada 2021 mendatang, proses perpindahan atau migrasi dari penyiaran analog ke digital sepertinya harus dilakukan cepat. Pasalnya, hal ini sangat terkait dengan kepentingan nasional seperti keamanan dan nasionalisme. 

Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, menegaskan migrasi dari analog ke penyiaran digital sudah seharusnya diwujudkan. Hingga saat ini, di lingkup regional hanya Indonesia yang belum melaksanakan proses perpindahan tersebut. Padahal jika di banding dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, Indonesia sudah lebih dulu menyatakan untuk melakukan migrasi.

“Kita sebenarnya termasuk pioneer diantara negara tetangga. Namun dalam perjalanan, justru mereka yang lebih dahulu melakukan migrasi,” kata Agung Suprio di sela-sela acara Crosscheck yang diselenggarakan Medcom.id bertema “Era Pandemi, Saatnya Migrasi Digital RI” secara virtual, pekan lalu. 

Terkait digitalisasi, Agung mengungkapkan banyak masalah yang Indonesia hadapi dengan negara tetangga seperti soal siaran mereka yang meluber ke wilayah perbatasan kita. “Ada peristiwa ironis ketika ada pertandingan sepakbola antara Indonesia dan Malaysia yang justru masyarakat di daerah perbatasan lebih mendukung kesebelasan negara tetangga. Hal ini karena tower mereka di daerah perbatasan sangat banyak dan siaran mereka jadi menguasai. Ini mempengaruhi perilaku masyarakat di sana,” jelasnya.

Contoh di atas, kata Agung, menjadi rekomendasi betapa migrasi ini tidak bisa lagi ditunda. Menurutnya, jika Indonesia tidak segera digitalisasi akan mengganggu daerah-daerah tersebut. “Digitalisasi akan membuat masyarakat di daerah perbatasan menikmati siaran indonesia secara jernih. Sehingga proses ideologisasi dan internalisasi nilai kebangsaan akan lebih cepat melalui digitalisasi. Ini fakta yang kita lihat,” ujarnya.

Selain perbatasan, wilayah yang belum dapat siaran atau blankspot akan mudah terjangkau melalui teknologi ini. KPI mengkhawatirkan, minimnya akses siaran dari dalam membuat masyarakat menerima ideologi yang tidak ada counternya. Apalagi saat ini akses internet semakin cepat. 

Dalam kesempatan itu, Agung meminta seluruh industri televisi nasional agar menyatukan pandangan untuk mendukung digitalisasi penyiaran di Indonesia. "Beberapa stasiun televisi melihat angle lain. Sehingga tidak ada pandangan yang sama," katanya. 

Agung mengatakan bahwa pemerintah harus berkompromi dengan industri penyiaran untuk menetapkan jadwal Analog Switch Off (ASO). Industri penyiaran telah berkontribusi dalam pemberitaan dan informasi di tanah air.  

Agung menilai pemanfaatan teknologi bisa menjadi modal industri penyiaran untuk mendorong masyarakat menonton siaran digital. Sehingga proses migrasi siaran tersebut mampu memberikan keuntungan bagi pelaku industri penyiaran.

"Pengalaman saya di Jerman ternyata televisi terestrial bisa dinikmati dengan ponsel tanpa sim card, tanpa data. Pilihan-pilihan teknologi itu menguntungkan industri televisi dari analog ke digital," ucap Agung.

Agung juga mengusulkan agar pemerintah dan seluruh stakeholder penyiaran melakukan sosialisasi mengenai sistem siaran digitalisasi kepada seluruh masyarakat sembari menunggu proses migrasi. “Proses sosialisasi ini harus dilakukan secara massif agar masyarakat paham dan tahu pentingnya digitalisasi penyiaran,” pintanya.

 

Sumber : https://kpi.go.id/index.php/id/umum/38-dalam-negeri/35826-merajut-nasionalisme-dan-integrasi-nasional-melalui-digitalisasi-penyiaran

.